Minggu, 24 Januari 2016

Kaki Gunung Bergadis

      Sayu matanya. Berkantung gelap seakan kurang tidur. Di tengah malam ia memulai kehidupannya. Berselancar di dunia maya atau bahkan berhubungan mesra dengan tuntutan tugas yang akan memberikan title sarjana. Ya sarjana.. yang akan memberikan kebanggaan bagi kedua orangtuanya, untuknya? kurasa sedikit saja.
       Waktu menunjukan pukul 01.00 pagi waktu bagiannya bersama cupang peliharaan yang diberi nama Helly, dengan harapan akan terdengar suara 'guk guk guk' jika dipanggil namanya. Tapi nyatanya ? Tidak pernah terjadi sampai saat ini. Kecewa lagi ia dibuatnya oleh kehidupan dunia yang fana ini. Lima detik setelah aku menuliskan ini, ia telah terlelap dalam gelap dalam pengawasan Helly.

        Pagi pun mendaki. Matahari mendapati gadis ini masih bermimpi. Kartun pagi pun terlewati, telah berganti menjadi acara musik alay-alay di televisi.
       "Bangun heh!" seru bu titik dengan suara khasnya sembari memegang remot tivi yang angka ditombolnya sudah mulai pudar tergerus zaman.
        Bu titik adalah sang induk. Mendidik anaknya seperti seorang santri, tapi apa yang terjadi ? ia malah sholat pake peci. Jenaka memang sosoknya, namun melankolis juga disisi lain. Suasana rumah yang sepi akan ramai dibuatnya, namun hanya sebatas dalam pikiran saja. Memikirkan dirinya berada di padang rumput sembari memberi makan kelinci. Tenang dan senang, adalah dua kata yang bisa menggambarkan dirinya pada saat itu, serasa sejuk berada di taman tanpa adanya gangguan ulat bulu yang membuat gatal!
         Pelik kehidupan cintanya, terpatri cukup lama kepada seorang teman kuliahnya. Menahun merindu. Dibuatnya beradu antara batin dan logikanya. Tak cukup sampai disitu, Helly pun diadu dengan serigala tetangganya, tetapi kata bu titik 'jangan'. Ia pun menyetujuinya dengan isyarat menunduk. Tahun demi tahun pun berganti. Rektor beserta jajarannya pun telah berganti. Kini perasaannya sudah mulai terobati, tanpa perlu takut untuk mengaktifkan 'paket' sosial medianya kembali.

        Kini diujung tanduk nasibnya. Berhadapan dengan realita, yang mengharuskan dirinya tidur lebih pagi lagi. Rayuan gombal lewat lagu pun nampaknya tak akan digubrisnya demi title sarjana. Berpacu dengan waktu. Itulah yang harus dilakukannya. Derap langkahnya semakin cepat tiap harinya. Kesibukan ini yang membuat dirinya tidak menyadari bahwa ada seorang lelaki yang meninggalkannya.
        Ya lelaki ini tampan dan berkuda (lumping). Mereka telah saling berhubungan selama kurang lebih empat tahun. Tak ada yang mereka bagi selain kasih sayang dan rasa peduli. Air mata di pipi? pernah dilihatnya oleh lelaki ini. Tertawa lepas? sudah menjadi bagian dari hidup kami. Senyum merah merona di pipi? Sudah menjadi favoritnya sejak saat pertama kali berjumpa. Dan percayalah, tidak akan ada tulisan seperti ini bila tidak terbesit rasa rindu di dalamnya. Semoga takdir mempertemukan kami kembali.


Semarang, 24-Jan-2016 Masehi