"Imaji liar. Biarkan berkembang. Jangan dikekang. Jadi benalu. Kalo kamu malu jadi pemalu."
Senin, 07 Desember 2015
Ego Te Requiro
Aku
adalah yang selalu menunggu kehadiranmu. Ya, kau matahariku. Dirimu lah yang
selalu menerangiku, menghangatkanku, dan membantuku membedakan yang mana hijau,
biru, atau ungu. Tanpa dirimu aku hanyalah sendu dalam gelap yang terbelenggu.
Di setiap paginya selalu kupanjatkan
do’a untukmu. Berharap dirimu tersenyum kepadaku dan membuat sel-sel dalam
tubuh ini berkembang menuju yang lebih sempurna untuk siapapun yang ingin
memilikiku. Mungkin saat ini aku memang belum pantas untuk kau cumbu dengan
bibir merahmu dan kau setubuhi aku semaumu. Yakinlah ada saat kau akan
mendapatkan kepuasan dariku.
Kini kau berada di ufuk timur,
kudapati dirimu semakin tenggelam meninggalkanku. Ingin rasanya kuteriakan
salam perpisahan untukmu, namun tak ku lakukan, sengaja kubiarkan, biar apa?
Biar menjadi “rindu”.
“Apa itu rindu ?” Tanya seorang
arwah anak kecil yang tiba-tiba muncul disampingku.
“Rindu adalah keadaan dimana dirimu
termenung diantara sebuah jarak. Jarak disini tidak hanya mempersalahkan letak
geografis, tetapi juga masalah waktu, dan lebih jauh dari itu juga melibatkan
qalbu. Hal ini juga membuat yang kau rindukan menjadi lebih mempesona dalam
benakmu”. Jawabku kepada arwah anak kecil itu.
Ah tidak ! karena anak kecil ini aku
kehilangan momen-momen mengharukanku dengan kau matahariku. Tapi aku percaya
kau tidak benar-benar meninggalkanku, aku tahu kau masih tetap memperhatikanku.
Cahaya yang kau biaskan melalui bulan itu untuk tetap menerangiku bukan ? Ah
baiknya dirimu.
Bosan aku menunggumu dalam kesunyian
dan kegelapan ini. Untuk apa Tuhan menciptakan malam seperti ini, padahal siang
hari lebih berwarna dan menyenangkan. Malam hari lah yang menyebabkan diriku
berpisah dengan sang batara surya yang kukagumi. Hal ini juga lah yang kerap kali
membuat diriku tak nyaman dan merasa bahwa Tuhan sedang menyiksaku. Tapi
sudahlah, kubiarkan pikiran-pikiran ini menjadi selimut dalam tidurku.
Sedikit terkejut diriku sebelum
memejamkan mata, kudapati ternyata arwah anak kecil itu masih bermain-main disebelahku.
Tak begitu kuhiraukan sebenarnya, kubiarkan dia melakukan sesuka hatinya.
Pagi pun datang ditandai dengar
suara “kokok-an” ayam jantan yang terdengar tidak begitu
semangat. Mungkin masih ngantuk. Akan tetapi rasa semangat itu juga kurasakan
karena matahariku tak muncul pagi ini, tidak ada senyumnya yang menyambut
diriku. Langit sepanjang hari ini hanya menunjukan warna kelabu.
Sedih aku menantimu selama seminggu.
Tak kau tunjukkan tanda-tanda kehadiranmu didalam keseharianku. Tunjukanlah
dirimu ! Agar aku bisa menjadi lebih matang untukmu ! . Hanya lagu sendu yang
terselimutkan rindu didalamnya yang mengisi hari-hariku.
Ditengah keputusasaanku, bangunlah
arwah anak kecil ini dan langsung berbicara kepadaku, “Janganlah kau
permasalahkan apa yang sudah menjadi ketetapan dari Tuhan yang menciptakanmu.
Ia lebih tahu mana yang terbaik untukmu. Tidakkah kau sadari selama ini justru
kegelapan dan kesunyianlah yang setia menemanimu dari waktu-waktu yang hilang”.
Mendengar perkataan arwah itu aku
hanya bisa terdiam dan mulai menyadari siapa lah diriku sebenarnya. Aku
hanyalah pentil jambu yang mencintai matahari. Dengan sinarnyalah aku mampu
berfotosintesis. Karena kehadirannyalah aku mampu menjadi lebih matang. Aku
ingin dia bisa menikmatiku sebagai suatu bentuk cinta dan terima kasihku
kepadanya. Tapi apa daya, aku mulai menyadari bahwa aku diciptakan bukan untuk
itu. Maka biarkanlah aku menikmati rinduku ini sendiri. “Pulanglah kau nak ke
alam mu” tuturku kepada sang arwah.(Desember yang ketika itu sedang hujan, 2014 Masehi)
Speculum
Di setiap paginya
diriku lah yang selalu engkau temui untuk meminta persetujuan tentang dirimu
yang selalu kukagumi. Pada dasarnya pemikiran kami sama, hanya saja aku melihat
dirinya dari perspektif yang berlawanan arah. Untuk apa? Untuk saling
melengkapi tentunya.
Hanya
anggukan dan senyuman saja yang bisa kulakukan ketika dirinya telah siap untuk
menjalani kehidupan lainnya diluar sana. Tak ada yang bisa kulakukan ketika ia
pergi. Sendiri, dingin, dan tak ada satu kata pun yang bisa kuucapkan. Mengapa
begitu? Ya karena aku ini bisu.
Langit
mulai merona jingga. Burung gagak hitam saling bersautan seakan memberi tanda
kepada gagak yang belakang untuk mengurangi kecepatannya dikarenakan ada
pesawat yang ingin menyebrang.
Bersamaan
dengan kumandang adzan magrib, terdengar suara pintu pertanda dirinya datang.
Tak sabar diriku ingin melihatnya. Ya, kudapati ia menemuiku dengan raut muka
yang lelah dan tampak tak bergairah. Kurasa ini akibat ulah setan jalanan yang
menari-nari ditengah kepulan asap kendaraan bermotor yang membuat siapa saja
yang menghirupnya akan lepas kendali, serasa ingin memaki, seraya mendahului
kendaraan yang ada di depannya.
Walau
tak terlalu ceria raut wajahnya saat menemuiku, tetap kuterima dia apa adanya.
Tak perlu ku kritik tentangnya, cukup dengan diam dan memerhatikan raut
wajahnya kukira cukup untuk menunjukan rasa empatiku.
Sepuluh
menit berlalu, ia masih berada dihadapanku, kini ia terlihat seperti sedang
memikirkan sesuatu. Tapi tak satu kata pun terucap dan terbagi kepadaku. Diriku
mulai gelisah ketika raut wajahnya menjadi merah padam. Kepanikanku semakin
menjadi-jadi ketika melihat nafasnya mulai tak beraturan. Ya, kegelisahan dan
kepanikanku pun terjawab bersamaan dengan kepalan tangannya yang diarahkan
kepadaku. Pandanganku terhadapnya menjadi kabur dan terbagi ketika kusadari
kini diriku tergeletak di lantai.
Setelah
itu ia pergi meninggalkanku begitu saja. Belakangan aku ketahui ia tengah emosi
karena sesampainya dirumah ia mendapati anjingnya mati diracun tetangga.
Prologue
Ya inilah aku yang selalu tersenyum apabila dilihat dari perspektif
yang benar. Namun kamu akan mendapati diriku yang bersedih jika kau melihat
dunia ini dengan cara yang terbalik.
Kamu bisa menemuiku di dalam hiruk pikuk manusia yang saling bertukar barang. Tapi ingat, janganlah sekali-kali kau menemuiku jika hijaunya rumput masih menyerupai diriku. Karena tak akan ada kesan manis yang akan kau dapatkan pada saat perjumpaan kita. Ya itulah aku.
Aku merupakan
idola bagi mereka-mereka yang bernafas dan mengidolakanku. Tak masalah buatku
bila mereka semua buruk rupa dan sering menjadi bahan ejekan di masyarakat
luas. Buatku mereka lah yang paling bisa menikmatiku sampai klimaks tanpa ada
satu patah kata keluhan pun yang terucap.
Kenikmatan yang
kumaksud ini berawal ketika ia melucuti pakaianku secara perlahan. Tak ada kata
lain selain kepasrahan yang bisa menggambarkan diriku pada saat itu. Ya,
kuserahkan jiwaku seluruhnya kepada dia yang mulai menempelkan bibirnya
kepadaku. Pandangan ini mulai meredup ketika lidah mulai menari dan air liur
membasahi diriku, ditambah lagi dengan gigitan-gigitan kecil yang menurutku
cukup nakal.
Seiring
berjalannya waktu ia telah berhasil melumatku sampai habis sehabis-habisnya.
Jika kau melihat diriku pada saat itu, maka kini aku berada di dalam kegelapan
menuju yang paling dalam sampai pada saatnya nanti aku melihat cahaya terang
dan aku keluar melalui celah sempit seraya berharap akan memberikan kepuasan
tertinggi kepada dirinya yg telah mencumbuku. Dan kini telah meninggalkanku.
Satu hal yang
kusesali, setelah kejadian tersebut diriku kini tak lagi sekuat dan segagah
pada saat awal pertemuan. Kini diriku lemah dan tak menarik. Sedikit tekanan
akan menghancurkan diriku. Sampai pada suatu peristiwa ketika air berarus deras
membawa diriku hanyut bersama dengan kenangan singkat yang kumiliki.
Ah sudahlah,
mengingat kejadian itu semua hanya akan menyakiti jantungku yang tergantung.
Kepada kau yang membaca kisahku ini, temuilah diriku ketika terangnya batara
surya dipagi hari menyerupai diriku. Aku ingin mengulang kisahku ini bersamamu.
Oh
iya, jika kau belum mengetahui siapa diriku. Maka…. Ya benar. Aku lah buah
pisang yang sedang mencurahkan isi hatiku. (Semarang, 2013 Masehi)
Langganan:
Postingan (Atom)