Aku
adalah yang selalu menunggu kehadiranmu. Ya, kau matahariku. Dirimu lah yang
selalu menerangiku, menghangatkanku, dan membantuku membedakan yang mana hijau,
biru, atau ungu. Tanpa dirimu aku hanyalah sendu dalam gelap yang terbelenggu.
Di setiap paginya selalu kupanjatkan
do’a untukmu. Berharap dirimu tersenyum kepadaku dan membuat sel-sel dalam
tubuh ini berkembang menuju yang lebih sempurna untuk siapapun yang ingin
memilikiku. Mungkin saat ini aku memang belum pantas untuk kau cumbu dengan
bibir merahmu dan kau setubuhi aku semaumu. Yakinlah ada saat kau akan
mendapatkan kepuasan dariku.
Kini kau berada di ufuk timur,
kudapati dirimu semakin tenggelam meninggalkanku. Ingin rasanya kuteriakan
salam perpisahan untukmu, namun tak ku lakukan, sengaja kubiarkan, biar apa?
Biar menjadi “rindu”.
“Apa itu rindu ?” Tanya seorang
arwah anak kecil yang tiba-tiba muncul disampingku.
“Rindu adalah keadaan dimana dirimu
termenung diantara sebuah jarak. Jarak disini tidak hanya mempersalahkan letak
geografis, tetapi juga masalah waktu, dan lebih jauh dari itu juga melibatkan
qalbu. Hal ini juga membuat yang kau rindukan menjadi lebih mempesona dalam
benakmu”. Jawabku kepada arwah anak kecil itu.
Ah tidak ! karena anak kecil ini aku
kehilangan momen-momen mengharukanku dengan kau matahariku. Tapi aku percaya
kau tidak benar-benar meninggalkanku, aku tahu kau masih tetap memperhatikanku.
Cahaya yang kau biaskan melalui bulan itu untuk tetap menerangiku bukan ? Ah
baiknya dirimu.
Bosan aku menunggumu dalam kesunyian
dan kegelapan ini. Untuk apa Tuhan menciptakan malam seperti ini, padahal siang
hari lebih berwarna dan menyenangkan. Malam hari lah yang menyebabkan diriku
berpisah dengan sang batara surya yang kukagumi. Hal ini juga lah yang kerap kali
membuat diriku tak nyaman dan merasa bahwa Tuhan sedang menyiksaku. Tapi
sudahlah, kubiarkan pikiran-pikiran ini menjadi selimut dalam tidurku.
Sedikit terkejut diriku sebelum
memejamkan mata, kudapati ternyata arwah anak kecil itu masih bermain-main disebelahku.
Tak begitu kuhiraukan sebenarnya, kubiarkan dia melakukan sesuka hatinya.
Pagi pun datang ditandai dengar
suara “kokok-an” ayam jantan yang terdengar tidak begitu
semangat. Mungkin masih ngantuk. Akan tetapi rasa semangat itu juga kurasakan
karena matahariku tak muncul pagi ini, tidak ada senyumnya yang menyambut
diriku. Langit sepanjang hari ini hanya menunjukan warna kelabu.
Sedih aku menantimu selama seminggu.
Tak kau tunjukkan tanda-tanda kehadiranmu didalam keseharianku. Tunjukanlah
dirimu ! Agar aku bisa menjadi lebih matang untukmu ! . Hanya lagu sendu yang
terselimutkan rindu didalamnya yang mengisi hari-hariku.
Ditengah keputusasaanku, bangunlah
arwah anak kecil ini dan langsung berbicara kepadaku, “Janganlah kau
permasalahkan apa yang sudah menjadi ketetapan dari Tuhan yang menciptakanmu.
Ia lebih tahu mana yang terbaik untukmu. Tidakkah kau sadari selama ini justru
kegelapan dan kesunyianlah yang setia menemanimu dari waktu-waktu yang hilang”.
Mendengar perkataan arwah itu aku
hanya bisa terdiam dan mulai menyadari siapa lah diriku sebenarnya. Aku
hanyalah pentil jambu yang mencintai matahari. Dengan sinarnyalah aku mampu
berfotosintesis. Karena kehadirannyalah aku mampu menjadi lebih matang. Aku
ingin dia bisa menikmatiku sebagai suatu bentuk cinta dan terima kasihku
kepadanya. Tapi apa daya, aku mulai menyadari bahwa aku diciptakan bukan untuk
itu. Maka biarkanlah aku menikmati rinduku ini sendiri. “Pulanglah kau nak ke
alam mu” tuturku kepada sang arwah.(Desember yang ketika itu sedang hujan, 2014 Masehi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar