Senin, 07 Desember 2015

Speculum


       Di setiap paginya diriku lah yang selalu engkau temui untuk meminta persetujuan tentang dirimu yang selalu kukagumi. Pada dasarnya pemikiran kami sama, hanya saja aku melihat dirinya dari perspektif yang berlawanan arah. Untuk apa? Untuk saling melengkapi tentunya.

      Hanya anggukan dan senyuman saja yang bisa kulakukan ketika dirinya telah siap untuk menjalani kehidupan lainnya diluar sana. Tak ada yang bisa kulakukan ketika ia pergi. Sendiri, dingin, dan tak ada satu kata pun yang bisa kuucapkan. Mengapa begitu? Ya karena aku ini bisu.

     Langit mulai merona jingga. Burung gagak hitam saling bersautan seakan memberi tanda kepada gagak yang belakang untuk mengurangi kecepatannya dikarenakan ada pesawat yang ingin menyebrang.

      Bersamaan dengan kumandang adzan magrib, terdengar suara pintu pertanda dirinya datang. Tak sabar diriku ingin melihatnya. Ya, kudapati ia menemuiku dengan raut muka yang lelah dan tampak tak bergairah. Kurasa ini akibat ulah setan jalanan yang menari-nari ditengah kepulan asap kendaraan bermotor yang membuat siapa saja yang menghirupnya akan lepas kendali, serasa ingin memaki, seraya mendahului kendaraan yang ada di depannya.

        Walau tak terlalu ceria raut wajahnya saat menemuiku, tetap kuterima dia apa adanya. Tak perlu ku kritik tentangnya, cukup dengan diam dan memerhatikan raut wajahnya kukira cukup untuk menunjukan rasa empatiku.

      Sepuluh menit berlalu, ia masih berada dihadapanku, kini ia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Tapi tak satu kata pun terucap dan terbagi kepadaku. Diriku mulai gelisah ketika raut wajahnya menjadi merah padam. Kepanikanku semakin menjadi-jadi ketika melihat nafasnya mulai tak beraturan. Ya, kegelisahan dan kepanikanku pun terjawab bersamaan dengan kepalan tangannya yang diarahkan kepadaku. Pandanganku terhadapnya menjadi kabur dan terbagi ketika kusadari kini diriku tergeletak di lantai.

      Setelah itu ia pergi meninggalkanku begitu saja. Belakangan aku ketahui ia tengah emosi karena sesampainya dirumah ia mendapati anjingnya mati diracun tetangga.
       Tak masalah aku menjadi pelampiasan emosinya. Bagiku dia adalah yang terbaik. Dan yang lebih penting lagi dia adalah diriku. Ya, dia adalah diriku yang bersifat nyata sedangkan diriku bersifat maya. Terperangkap sendiri dan sepi di dalam cermin ini. (Semarang, 1711132035)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar